Menengadahkan tangan kepada orang lain untuk mengemis bagi sebagian orang bukan merupakan hal yang tabu, bagi orang berotot sekalipun. Menggunakan intonasi memelas, pose tubuh menciut dan tangan kanan menjulur mengiba dengan baju sedikit kumal, pria berusia 30an tahun tak segan mengais sedekah.
Usai diberi barang seribu-dua ribu, orang tersebut buru-buru pergi sambil berucap terimakasih. Orang ini kita masukkan ke dalam pengemis orisinal, yakni semata-mata meminta. Sebagian lagi menganggap mengemis sebagai profesi wiraswasta, dapat kita lihat dari jenis pekerjaan yang tertera di KTP sejumlah pengemis di DKI Jakarta.
Di luar itu, ada kelompok orang yang mengemis dengan bumbu agama: berteriak tentang pahala orang yang sedekah, jaminan dapat kembalian berupa kekayaan dari Tuhan jika memberi, sama dengan berperang jika memberi, dan sederet motivasi keagamaan lainnya, akan tetapi pemberian tersebut diarahkan untuk membantu lembaga yang dikelola diri dan keluarnya.
Orang-orang ini bekerja dengan cara menghimpun dana dari masyarakat, memanfaatkan sentimen mereka yang ingin dekat dengan agama. Tampak baik, tetapi lakunya tak ubahnya pengemis tipe pertama tadi.
Kita katakan pengemis berkedok agama karena cara dia menghimpun dan mengelola dana tak ubahnya pengemis asli. Apabila Anda memberi kepada pengemis asli, uang tersebut akan dimanfaatkan sekehendak dia dan mutlak menjadi haknya. Hal yang sama, ternyata, banyak dilakukan oleh pengemis berkedok agama baik dalam bentuk pribadi maupun lembaga, seperti yayasan.
Tidak sedikit badan hukum seperti yayasan yang menghimpun dana memanfaatkan sentimen agama, tetapi ternyata tidak menjalankan fungsinya sebagaimana yang digariskan agama. Alur keuangan mereka tak dapat diaudit menurut standar akuntansi; menghimpun dana dari masyarakat tetapi masyarakat tak pernah tahu lalu lintas keuangannya; mengatakan yayasan sebagai medan perjuangan agama, tetapi ternyata hanya menjadi tempat pekerjaan bagi keluarga; dana dari umat beragama, tetapi aset yayasan—terutama ketika tutup—dikapling-kapling oleh mereka yang terlibat di dalamnya. Apa bedanya mereka dengan pengemis?
Ada beberapa cara untuk membedakan antara yayasan yang bertanggung jawab sesuai fungsinya dan yayasan pengemis. Yayasan pengemis biasanya fokus pada pembangunan fisik: membeli lahan, membangun gedung, membeli kendaraan, dan aset-aset fisik lainnya, ketimbang pembangunan manusia; laporan keuangan mereka tidak bisa diakses publik; yang menjadi pengurus hanya keluarga sendiri, bahkan hingga pegawai rendahan sekalipun. Mereka menjadikan yayasan sebagai tempat mencari uang dan pekerjaan utama, persis seperti pengemis di jalanan atau yang mendatangi rumah-rumah penduduk. Yayasan tipe ini harus dibedakan dengan yayasan fiktif, yang tak lain adalah penipuan.
Para pengemis berkedok agama tentu saja lebih memiliki daya rusak terhadap tatanan sosial, ketimbang pengemis biasa. Pasalnya, dalam beberapa kasus, banyak orang yang merasa hanya mendapat pahala ketika bersedekah kepada pengemis yang menggunakan dalil-dalil agama tadi. Padahal, terkadang tetangga atau kerabat sendiri jauh lebih membutuhkan sedekah tersebut.
Bagi pengemis yang tidak sadar bahwa dirinya mengemis atas nama agama, perilaku ini juga berbahaya karena dia merasa benar dengan perbuatan tak benar. Di luar soalan halal-haram, mengemis adalah perbuatan tercela karena menjadi biang kemalasan. Mengemis atas nama agama tak jarang membuat masyarakat bingung dan kasak-kusuk di belakang. Misalnya, sebuah yayasan yang mengelola tempat ibadah dan sekolah yang menyedot dana dari umat, tetapi masyarakat tak pernah diberikan kesempatan untuk sekadar menjadi guru di sekolah tersebut karena semua guru dan pegawai adalah anggota keluarga besar pemilik yayasan. Masyarakat yang menyalurkan donasi juga tak pernah tahu lalu lintas keuangan lembaga tersebut, tetapi di saat yang sama mereka juga tak berani berbuat apa-apa karena pemilik yayasan dianggap paham agama.
Orang-orang seperti ini secara tidak langsung justru mengkerdilkan fungsi agama sebagai pembebas, pencerah dan tempat paling adil. Bagaimana bisa adil jika peluang bagi orang di luar struktur lembaga pengemis tadi ditutup? Di tangan para pengemis berkedok agama, dana umat sering mubazir dan tidak tepat sasaran karena peruntukannya selalu diarahkan untuk mempertahankan kuasa sosial dan agama di tengah masyarakat, di samping untuk menunjang kebutuhan pribadi dan keluarga. Ada orangyang hidupnya dari sedekah tetapi gaya hidupnya mewah bak pengusaha.
Supaya tidak menjadi pengemis berkedok agama, budaya audit keuangan, fokus kepada pembangunan manusia dan keterbukaan kesempatan bagi masyarakat umum harus dikedepankan. Jika tidak seperti itu, seharusnya mereka berani mengatakan bahwa lembaganya adalah lembaga profit/bisnis atau sama sekali berhenti mengimpun dana dari umat mengatasnamakan agama. Terus terang mengemis karena diri dan keluarga butuh pekerjaan dan mengakumulasi aset material tentu lebih mulia ketimbang harus dibungkus pakai dalil-dalil agama tetapi nyatanya tidak murni untuk kepentingan agama.
29 Jun 2017
Waspada Pengemis Berkedok Agama
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar