Suara dukungan terhadap kebijakan sekolah lima hari yang digulirkan Mendikbud Muhadjir Effendy datang dari Muhammadiyah.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti menilai bahwa keputusan Mendikbud Muhadjir diambil berdasar pada pengamatan akan kurang efektifnya sistem sekolah yang ada saat ini.
Banyak waktu luang yang dihabiskan murid di luar sekolah. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah.
Selain itu, terdapat juga masalah akademik dan administrasi keguruan. Dimana banyak anak yang mengikuti les pelajaran, keterampilan, maupun kesenian.
Kebijakan ini, kata Mu’thi, diharapkan mengatasi persoalan-persoalan tersebut. “Caranya dengan menjalin kerjasama antara guru dengan masyarakat,” kata Mu’ti.
Mu’ti menjamin bahwa Muhammadiyah tetap akomodatif terhadap kebijakan pemerintah selama tidak bertentangan dengan ajaran islam.
“Sekolah lima hari cuma persoalan strategi, bukan substansi,” kata alumnus IAIN Walisongo Semarang ini.
Mu’ti juga meminta agar masyarakat tidak terlalu reaktif terhadap keputusan Mendikbud ini. Karena keputusan ini bersifat bertahap dan sukarela.
Sebagaimana kurikulum K-13 yang masih belum berlaku secara penuh meskipun telah empat tahun berjalan. “Tidak ada masalah, yang siap monggo laksanakan, yang belum dipersiapkan secara bertahap,” ungkapnya.
Dukungan ini ditegaskan Mu’ti bukan dalam rangka berseberangan dengan NU maupun karena semata Mendikbud adalah Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Kebijakan Mendikbud ini juga akan berdampak pada lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan Muhammadiyah berupa Sekolah, Madrasah Diniyah, dan Boarding School.
“Tidak hanya NU dan Muhammadiyah, tapi semua lembaga pendidikan islam, Kristen, Katolik dan umat agama lain yang punya kegiatan berbasis tempat ibadah,” katanya.
Terhadap pemerintah, Muhammadiyah menghimbau untuk tidak gamang mengambil keputusan. Gelombang keberatan dan penolakan dapat diatasi dengan komunikasi yang baik dan sosialisasi yang komprehensif. Komunitas pendidikan juga harus dipahamkan.
Jika memang tidak mampu, bisa memohon dispensasi, bukannya malah memaksa kebijakan ini dihapus dan dibatalkan. “Wait and see dulu sambil dipelajari kekurangannya,” pungkas Mu’ti.
PBNU Tolak Keras Kebijakan 5 Hari Sekolah
Pengurus Besar Nahdlaltul Ulama menolak keras Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang akan memberlakukan 5 Hari Sekolah. Penolakan tersebut dibacakan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj di gedung PBNU, Jakarta, Kamis (15/6).
Di antara pertimbangan penolakan tersebut adalah, dilihat dari perspektif regulasi, kebijakan baru lima hari sekolah /delapan jam belajar (Full Day School) di sekolah bertentangan dengan Undang-undang Pasal 51 UU Sisdiknas tentang “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”.
“Dengan demikian, kebijakan tersebut, tidak senapas dengan UU Sistem Pendidikan Nasional yang selama ini cukup demokratis dan memandirikan satuan-satuan pendidikan untuk mengembangkan model pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesiapan sekolah/madrasah masing-masing,” jelasnya.
Kiai Said juga menyebutkan, jika berkaca terhadap ketentuan waktu kerja guru sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU tentang Guru dan Dosen: (1) Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan. (2) Beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu, maka kebijakan lima hari sekolah /delapan jam belajar di sekolah berpotensi besar kepada jumlah jam mengajar guru di sekolah melampaui batasan yang telah diatur dalam UU yang dimaksud.
Lewat kajian mendalam dan pemantauan intensif yang kami lakukan, lanjutnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas sekolah belum siap dalam rangka menerima kebijakan lima hari sekolah/delapan jam pelajaran (Full Day School). Kesiapan itu menyangkut banyak hal antara lain terkait fasilitas yang menunjang kebijakan lima hari sekolah/delapan jam pelajaran (Full Day School).
Penolakan tersebut juga dikemukan Ketua Pengurus Pusat Lembaga Pendidikan Ma’arif NU H. Arifin Junaidi dan Ketua Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) KH Abdul Ghafar Rozin. Hadir pada penolakan tersebut Menristek DIkti Muhammad Nasir, Sekretaris Jenderal PBNU H. A Helmy Faishal Zaini, ketua-ketua PBNU, para Wasekjen PBNU, serta Mustasyar PBNU KH Saifuddin Amsir dan H. Abdullah Syarwani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar