Staf Khusus Presiden Bidang KomunikasiJohan Budi mengatakan, pihak Istana Kepresidenan tak khawatir dengan langkah pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, yang mengancam akan menggugat Undang-Undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut Johan, langkah itu merupakan hak Yusril.
Yusril mengancam akan menggugat UU Pemilu jika ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold tidak dihapuskan.
"Oh tidak (khawatir). Kan tidak bisa melarang juga. Itu haknya Pak Yusril," kata Johan, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (10/7/2017).
Saat ini, pembahasan RUU Pemilu antara pemerintah dan DPR masih buntu.
Kebuntuan itu karena belum dicapai kesepakatan soal presidential threshold.
Pemerintah bersama PDI-P, Golkar, dan Nasdem ingin menggunakan aturan lama, di mana parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden.
Parpol lain seperti Gerindra, PKS, PKB, PAN, PPP dan Hanura masih berupaya mencari jalan tengah dengan mengusulkan presidential threshold di angka sekitar 10 persen.
Sementara, Partai Demokrat ingin presidential threshold 0 persen atau dihapuskan.
Johan mengatakan, merupakan hak setiap warga negara, termasuk Yusril, untuk menggugat UU ke MK.
Namun, Johan menekankan, ancaman tersebut tidak akan memengaruhi sikap pemerintah soal presidential threshold.
Sikap pemerintah sepenuhnya akan tergantung dari pembahasan RUU Pemilu bersama sepuluh fraksi di DPR.
"Undang-Undang itu kan kesepakatan pemerintah dan DPR. Masih dalam diskusi sekarang ini," ujar Johan.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo juga sebelumnya mempersilakan Yusril untuk menggugat ke MK.
Namun, ia menegaskan bahwa pemerintah akan tetap mempertahankan presidential threshold di angka 20-25 persen.
Dihapuskan
Adapun, Yusril menilai, presidential threshold seharusnya dihapuskan karena Mahkamah Konstitusi memutuskan pemilu legislatif dan pemilu presiden berjalan serentak.
Penggunaan hasil Pemilu 2014 untuk Pilpres 2019 dinilai tidak relevan.
"Jika presidential treshold tetap ada, berapapun angka persentasenya, maka aturan itu adalah inkonstitusional bertentangan dengan Pasal 22E UUD 45," kata Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini.
Yusril juga mengingatkan bahwa dampaknya akan sangat fatal jika MK membatalkan ketentuan presidential threshold dalam UU Pemilu.
Apalagi, jika putusan MK itu muncul setelah pilpres digelar. Pilpres 2019 akan dianggap inkonstitusional karena digelar berdasarkan UU Pemilu yang dibatalkan MK.
"Jika Pilpres itu inkonstitusional, maka hancur leburlah negara ini sebab pemimpin negaranya tidak mempunyai legitimasi untuk menjalankan roda pemerintahan," kata Yusril.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar