16 Nov 2016

Medsos Mulai Jadi Ancaman Bagi Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia

Kerisauan Presiden Joko Widodo soal media sosial jadi ajang caci maki, diungkapkan di depan sekitar 10.000 ulama pada acara Doa untuk Keselamatan Bangsa yang diselenggarakan Partai Kebangkitan Bangsa(PKB) di Jakarta, Sabtu (11/12/2016).

Katanya, "Media sosial sebulan belakangan isinya saling menghujat, saling ejek, saling maki, fitnah, adu domba dan provokasi."

Situasi ini menurut Presiden harus diperbaiki bersama dan masyarakat diminta ikut menjaga kesejukan termasuk di media sosial, karena hal-hal tadi bukan nilai-nilai bangsa Indonesia, bukan nilai kesantunan.

Teknologi telekomunikasi tumbuh pesat, di satu sisi mempermudah masyarakat penggunanya berkomunikasi nyaris dari mana pun dan ke mana pun, di sisi lain ternyata menghancurkan batas komunikasi santun yang selama ini terselenggara dalam komunikasi langsung.

Telekomunikasi seluler juga mengubah manusia dari semula guyub, bermasyarakat, menjadi makin introvert, menyendiri.

Pada zaman dahulu informasi diperoleh ketika orang saling bertatap muka, hingga saat telekomunikasi tampil sebagai perantara komunikasi yang menafikan tatap muka.

Pada masanya –sebelum dekade lalu – orang masih enggan menggunakan fasilitas komunikasi jika akan menghubungi orang yang dianggap punya posisi atau kelas lebih tinggi: orangtua, atasan, orang kaya.

Orang pun menjaga bicaranya ketika bercakap-cakap, bahkan jika pun terpaksa bicara dengan orang yang tidak disukainya. Mereka jarang menggunakan kata-kata kasar ketika berhadapan, dan baru mengungkapkan kekesalan kepada pihak ketiga ketika perjumpaan sudah usai.

Orang akan bebas berbicara seenaknya, mengumpat, memaki, umumnya dalam forum terbatas, baik berupa ruang tertutup ataupun jumlah peserta yang sedikit.

Kalaupun pembicaraan dalam forum terbatas itu bocor dan sampai ke telinga orang lain yang jadi sasaran percakapan, efeknya tidak melebar, paling jauh hanya ke sekitar orang-orang itu saja.

Paling dilabrak

Itu tadi acapkali yang disebut dengan percakapan warung kopi, yang topiknya bisa beragam. Politik, ekonomi, sosial, ghibah (membicarakan orang), yang menjadi cara penyampaian misalnya pendidikan politik dalam kadar yang rendah.

Namun segi negatifnya banyak karena di pembicaraan warung kopi, ghibah menjadi topik yang paling menarik. Apalagi jika menyangkut kekayaan, kecantikan, perselingkuhan.

Kalaupun ada fitnah, mengejek, memaki, atau menghujat dalam pembicaraan itu, efeknya kalaupun melebar biasanya diselesaikan dengan mendatangkan orang yang berpengaruh di lingkungan.

Peserta obrolan warung kopi pun menganggap percakapan mereka sebagai omong kosong yang tidak punya nilai untuk disampaikan ke orang lain. Perlu upaya ekstra keras, tenaga dan biaya untuk menyampaikan omong kosong ke forum yang lebih luas.

Media sosial menyediakan diri sebagai penyampai berita yang efektif yang mampu menjangkau jauh lebih banyak orang dan komunitas. Semua kendala cara penyebaran tumbang, karena tanpa batas ruangan dan waktu dengan upaya jauh lebih ringan dan nyaris tanpa biaya.

Ketika ibu-ibu ngerumpi, bergosip saat berjumpa di ujung gang sepulang belanja di pasar, akibat paling tinggi penggosipnya dilabrak. Paling banter cakar-cakaran, dilerai, lalu didamaikan, dan selesai.

Masalahnya, masyarakat kini memindahkan gang dan warung kopi ke ponsel yang punya fasilitas digital data, namun cara berpikir mereka masih tidak beranjak dari dua lokasi itu.

Ketika gosip muncul di Twitter, Facebook, Instagram, atau sekadar tampilan status orang yang kadang tidak dikenalnya, hanya dengan sekali klik bisa disebarkan ke orang lain dalam hitungan deret ukur atau kuadrat, bisa ratusan ribu tujuan sekaligus.

Faktor nuansa selain kemampuan pencernaan kata berbeda pada tiap orang, membuat isu menjadi bola liar. Apalagi jika dalam perjalanannya isu tadi sempat disunting sebelum disebarkan lagi.

Kehilangan kambing

Mengubah budaya gosip tidak mudah, sebab ngerumpi, meng-ghibah, walau dilarang agama Islam, bagi banyak orang merupakan kenikmatan. Celakanya kegiatan ini malah makin menggila ketika media sosial diperkenalkan.

UU No 11/2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) mestinya mampu meredakan pengunggahan ujaran kebencian (hate speech) namun sebaliknya, justru makin marak. Masyarakat merasa media sosial sangat cocok menjadi penyalur kekesalan mereka.

Apalagi karena ancaman hukumannya "hanya" empat tahun sehingga polisi tidak bisa lagi serta merta menahan pelanggarnya sebelum proses peradilan. Pelaku hate speech pun bisa tetap tenang sepanjang tidak ada laporan dari korban kata-kata kebencian tadi.

Hate speech, hujatan, memaki, fitnah, adu domba dan provokasi, bisa berbalik menjadi tindak pidana ke penulis dan yang mengunggahnya di media sosial. Namun, masyarakat belum terbiasa melaporkan hujatan-hujatan tadi sebagai pencemaran nama baik, karena trauma masa lalu.

Hingga belum lama ini, melapor ke aparat penegak hukum dianggap akan merugikan diri sendiri, seperti ungkapan lapor kehilangan ayam malah kehilangan kambing. Apalagi ketika yang dilaporkan pejabat publik atau orang kuat, trauma ini sangat terasa.

Hate speech merupakan delik aduan, sehingga ketika sekelompok orang yang melaporkan adanya penghinaan kepada Presiden Jokowi lewat media sosial, polisi tidak dapat mengusutnya, kecuali kalau Jokowi yang melapor.

Karenanya jika sasaran adalah bangsa atau personal yang maya, misalnya adu domba dan provokasi, negara atau Menkominfo-lah yang harus mengadu ke polisi.

Dikhawatirkan, sejalan dengan makin maraknya ungkapan-ungkapan kata-kata kebencian, polisi akan kewalahan dalam menanganinya.

Mudah-mudahan tindak pidana hate speech tidak seperti pelanggaran lalu lintas yang sudah marak yang kemudian cenderung dianggap menjadi kebiasaan yang dibolehkan karena faktor penegak hukum yang kewalahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar