24 Nov 2016

Kasus Ahok Terkait Pilpres 2019? Ini Bukti-Bukti Analsisnya

Aksi besar yang menuntut proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam kasus dugaan penistaan agama dinilai bukan semata-mata mengincar calon petahana Gubernur DKI Jakarta itu. Ada kepentingan politik yang jauh lebih besar daripada sekadar kontestasi Pilkada Jakarta 2017.

Hal itu diungkapkan oleh pengamat politik dari Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, dalam perbincangan di Studio Metro TV yang ditayangkan secara live, Senin (21/11/2016). Menurutnya, Ahok terlalu kecil jika menjadi satu-satunya sasaran terkait statusnya sebagai calon Gubernur DKI Jakarta.

“Kalau kita lihat sinyalemen kasus Al Maidah, itu terlalu kecil kalau sasarannya Ahok. Indikasi pertama, Ahok hanya menjadi sasaran untuk tujuan akhir,” kata Burhanuddin.

Dia mengungkapkan analisis sederhana terkait dugaannya ini. Ada dua hal penting yang terjadi yang mengiringi mencuatnya kasus pidato di Kepulauan Seribu tersebut. Pertama, tingkat kepuasan terhadap Jokowi yang tinggi menjelang 2 tahun periode pemerintahannya.

“Alasannya simpel, Jokowi menjelang 2 tahun periode pemerintahan. Di tingkat massa, tingkat kepuasannya 60%. Pada saat yang sama dibarengi konsolidasi kekuatan elite,” kata Burhanuddin menganalisis.

Dengan modal itu, sulit untuk menggoyang elektabilitas Jokowi dalam persaingan di Pilpres 2019. Maka, kasus Ahok menjadi pintu masuk yang langka untuk memberikan tantangan terhadap elektabilitas Jokowi.

“Lalu ada pintu masuk, itu kasus Ahok. Kebetulan memang, pernyataan Ahok itu politically incorrect [secara politis salah]. Jadi ini tidak bisa lepas dari 2019, kalau Jokowi terlalu kuat, maka sulit untuk menyaingi Jokowi.”

Faktor itu, katanya, masih ditambah dengan adanya pertarungan internal soal siapa yang akan mendampingi Jokowi dalam Pilpres 2019. Kebetulan, salah satu nama yang memiliki elektabilitas tinggi adalah Ahok sehingga sangat berpotensi menjadi calon wakil presiden. Baca juga: Polri Selidiki Aktor Dugaan Makar Demo 25 November/2 Desember.

Menurut Burhanuddin, ada beberapa sikap politik para elite yang bisa dibaca publik meskipun tidak pernah dinyatakan secara verbal. Dia mencontohkan saat Presiden Jokowi menemui Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Hambalang sebelum demo 4 November lalu. Tak lama kemudian, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) justru menemui Wapres Jusuf Kalla (JK) dan Menkopolhukam Wiranto.

“Ada pernyataan yang mungkin tidak diungkapkan, tapi bisa dibaca secara teliti. Ada 2 kubu. Pertama, ada Jokowi, Megawati, Setya Novanto, lalu ada SBY, Wiranto, dan JK. Ada social network. Lalu ada kelompok abu-abu, ada 3 partai Islam,” ujarnya tanpa menyebut nama ketiga parpol itu. Baca juga: Megawati Minta Izin Presiden Pertemukan Seluruh Ketum Parpol Pendukung.

Seperti diketahui, ada tiga partai Islam yang masuk ke dalam koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-JK, yaitu PKB, PPP, dan PAN. Dalam Pilkada Jakarta 2017, mereka tak ikut mendukung Ahok-Djarot dan bergabung dengan Partai Demokrat mengusung Agus Harimurti-Sylviana Murni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar