Vaksin Palsu, OBAT PALSU, DOKTER PALSU JUGA ADA
topikindo.com - Persoalan di dunia medis dan farmasi di negeri kita seperti sambung menyambung tak ada habisnya. Setelah beredar vaksin palsu yang sudah bikin heboh, rupanya ada pula peredaran obat palsu dan dokter palsu. Duh..
Hal ini terungkap dalam diskusi bertajuk "Darurat Farmasi: Melawan Pemalsuan Vaksin dan Obat, di Plaza Festival, Jakarta, kemarin. Hadir sebagai pembicara antara lain perwakilan Dokter Indonesia Bersatu (DIB) dr Agung Sapta Adi, Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia Iing Ichsan Hanafi, dan Ketua YLKI Tulus Abadi".
Agung menyebut, terungkapnya vaksin palsu yang sudah bikin geger belakangan ini sebagai fenomena gunung es di dunia farmasi. Kata dia, peredaran vaksin palsu hanya bagian kecil dari pemalsuan yang tampak. Di bagian yang tak terlihat, ada obat palsu dan dokter palsu. Jumlahnya lebih mencengangkan. "Ini jumlahnya lebih besar dari vaksin palsu," kata Agung.
Kata Agung ada beberapa alasan pemalsuan obat. Pertama, kebutuhan akan obat semakin hari semakin tinggi. Ditambah, gaya hidup masyarakat yang berpikir kuratif alias lebih mengedepankan pengobatan bukan pencegahan. Selain itu distribusi obat yang terbuka. Artinya, siapa pun bisa memasarkan obat. Mulai apotek, toko obat, hingga toko online. "Mereka yang menjajakan belum tahu apakah obat yang dibelinya asli atau palsu," ujarnya.
Agung yang tergabung dalam Gerakan Moral DIB mengatakan, adanya bentuk pemalsuan di dunia farmasi dikarenakan sistem kesehatan naional yang berantakan. Lembaga yang bertugas mengawasi tak berjalan optimal jika tidak dibilang buruk. Penjualan obat melalui toko online menjamur. Padahal, jika dibiarkan ujung-ujungnya yang akan dirugikan adalah masyarakat. Selain itu, buruknya pengawasan juga terlihat dari terungkapnya peredaran vaksin palsu. "Pembikin vaksin palsu baru terungkap setelah 13 tahun beroperasi," ujarnya.
Nah, selain vaksin dan obat palsu, kata dia, ada juga dokter palsu. Apa itu? Ada orang-orang yang tidak punya kompetensi, kemampuan dan legalitas tapi melakukan tindakan medis terhadap pasien. Contohnya, adalah praktek pengobatan alternatif.
Kasus vaksin palsu menggegerkan publik sebulan belakangan. Kementerian Kesehatan mengumumkan ada 14 rumah sakit yang diduga memberikan vaksin palsu kepada pasiennya. Kelangkaan obat disebut-sebut sebagai pemicu pemalsuan. Mereka yang terlibat kasus ini tak hanya pembuat, dokter dan direktur rumash sakit pun ikut jadi tersangka. Rumah sakit, Kementerian Kesehatan, hingga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mendapat kritikan.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyatakan, terungkapnya kasus vaksin palsu jadi momentum untuk membongkar fenomena obat palsu di Indonesia. Kata dia, vaksin palsu hanya sebagian kecil permasalahan pemalsuan produk-produk farmasi. Di bagian lain ada pemalsuan obat yang masih marak. Untuk membongkar itu, Tulus mengatakan BPOM harus rajin melakukan pengawasan. Menurutnya, terjadinya pemalsuan vaksin hingga 13 tahun lantaran Kementerian Kesehatan dan dinas-dinas kesehatan di daerah tidak bisa melakukan pengawasan optimal di sisi hilir.
Untuk mengatasi persoalan ini, dia menyarankan pemerintah tak lagi mengandalkan produk obat dan vaksin impor yang cenderung mahal. Alasannya, masyarakat belum sepenuhnya menjangkau obat-obat bermerek. Apalagi vaksin palsu di sejumlah rumah sakit swasta juga adalah produk impor.
Dia bilang, saatnya pemerintah, melalui Biofarma selaku BUMN yang memproduksi vaksin dan obat memproduksi obat-obat yang selama ini impor. "Dan Biofarma juga harus meningkatkan kualitasnya," ujarnya.
Sementara itu, Sekjen ARRSI Iing Ichsan mengatakan pihaknya sebagai pengguna memang kesulitan untuk mengecek apakah obat itu asli atau palsu. Sumberdaya manusia menjadi alasan. Selain itu, rumah sakit swasta sangat sulit melakukan pengadaan obat. Dia berharap, ke depan pengadaan obat tak lagi sulit. Pasalnya, pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional tak hanya untuk rumah sakit milik negara tapi juga swasta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar