Nama Jessica Kumala Wongso sejak Januari lalu bak artis saja. Berbagai kalangan di Indonesia, utamanya di Jakarta mesti mengenal sosoknya karena kasus yang tengah membelitnya – kasus kopi sianida dengan korban I Wayan Mirna Salihin.
Setelah melewati puluhan “episode” persidangan, nasib Jessica seterusnya akan berada di tangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Vonisnya dijadwalkan bakal ketuk palu pada Kamis 27 Oktober.
Sebagai pengingat, Mirna meregang nyawa setelah menyeruput es kopi Vietnam yang dipesankan Jessica di Kafe Olivier, Grand Indonesia pada 6 Januari 2016 sekira pukul 4 petang. Saat Mirna kejang-kejang dan mulutnya mulai berbusa, Jessica sempat melemparkan tuduhan ke manajemen kafe.
Sianida di Tubuh Mirna
Tak lama setelah itu, Mirna dinyatakan meninggal kendati sudah berusaha dibawa suaminya ke Rumah Sakit (RS) Abdi Waluyo. Jenazah Mirna kemudian dibawa ke RS Polri di Kramat Jati, Jakarta Timur, untuk dilakukan visum setelah disetujui keluarga pada tiga hari setelah meninggal. Dari hasil pemeriksaan, terdapat pendarahan di lambung Mirna. Tanda-tanda Mirna diracun dengan sianida juga diperkuat dokter dari Puslabfor Polri Slamet Purnomo. Kala itu, status Jessica dan Hani, rekan Mirna dan Jessica, masih saksi.
Prarekonstruksi pertama digelar Polda Metro Jaya pada 11 Januari dengan menghadirkan Jessica dan Hani di Kafe Olivier. Tapi penelusuran kasus “Kopi Maut” ini sempat tertunda beberapa hari, lantaran di Jakarta tengah dilanda serangan teroris “Bom Sarinah” pada 14 Januari.
Baru pada 24 Januari, akhirnya Jessica ditetapkan Polda Metro Jaya sebagai tersangka. Lima hari berselang, Jessica turut dicekal Dirjen Imigrasi dan pada 30 Januari, gadis berusia 27 tahun itu diciduk di Hotel Neo, kawasan Mangga Dua Square, Jakarta Utara.
Sementara penyusunan berkas-berkasnya cukup memakan waktu lama dan bahkan, penyidik Polda Metro sampai harus ke Australia, demi mencari bukti tambahan dari Kepolisian Australia. Singkat cerita setelah lengkap, baru kemudian berkas-berkasnya diserahkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI.
Hakim Binsar Gultom Diadukan ke Komisi Yudisial
“Episode” pembuka persidangan Jessica baru dihelat pada 14 Juni. Di sinilah kemudian berbagai drama “sampingan” bermunculan. Mulai dari diadukannya anggota majelis hakim Binsar Gultom, hingga polemik sel tahanan mewah Jessica.
Dalam persidangan, kubu Jessica merasa pihaknya acap disudutkan Hakim Binsar. Beberapa kode etik kehakiman dianggap diterabas dan itu jadi “modal” tim kuasa hukum Jessica, melaporkan hakim yang juga berkata kasar terhadap kuasa hukum Jessica ke Komisi Yudisial (KY).
Suami Mirna Dituduh sebagai Dalang Utama
Jalannya persidangan juga terbawa melebar ke tuduhan lain. Tudingan bahwa suami korban, Arief Soemarko berkonspirasi dengan salah satu barista Kafe Olivier Rangga Dwi Saputra. Dikatakan, Arief mentransfer uang Rp140 juta agar Rangga memasukkan racun sianida ke es kopi yang diminum Mirna.
Disebutkan pula oleh kubu Jessica, hal itu diketahui seorang wartawan bernama Amir Papalia yang melihat Arief menyerahkan sebuah bungkusan hitam kepada Rangga, sebelum Mirna meninggal. Sontak gemuruh terlecut di antara para penonton di ruang sidang. Tapi sayangnya, info itu tak segera diusut dan jadi bahan protes tim kuasa hukum Jessica.
Paksaan Kombes Krishna Murti
Selingan dalam sidang Jessica juga sempat terusik pengakuan terdakwa, bahwa alumnus Blue Billy College itu dipaksa mengaku sebagai pembunuh Mirna, oleh Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya Kombes Khrisna Murti. Belakangan, kuasa hukum Jessica kemudian melaporkannya ke Propam Mabes Polri.
Dalam pengakuannya di salah satu momen persidangan, Jessica diintidimasi dan disuruh mengaku. Kalau mengaku, palingan cuma bakal dipenjara tujuh tahun.
“Kalau kamu ngaku, enggak bakal dihukum mati. Paling hanya tujuh tahun. Terus dipotong apa-apa, berkurang (masa hukumannya). Sebentar paling keluar. Saya bingung pak, saya diem aja karena stres,” ungkap Jessica.
Di sisi lain, persidangan terus berjalan. Saksi demi saksi dihadirkan untuk meyakinkan sianida di dalam tubuh Mirna. Pun begitu dengan para saksi ahli bidang IT, sebagai penegas barang bukti berupa rekaman CCTV.
Pasalnya dalam pembeberan rekaman CCTV, nampak gerak-gerik Jessica mencurigakan. Tapi sayangnya barang bukti berupa CCTV itu diragukan keabsahannya oleh tim kuasa hukum Jessica yang bersikeras, bahwa itu bukan barang bukti utama menurut Mahkamah Konstitusi (MK).
Tuntutan 20 Tahun Penjara
Maka dalam pembacaan tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang “bermodalkan” alat bukti CCTV itu dan sejumlah pernyataan saksi ahli, melayangkan tuntutan penjara 20 tahun kepada Jessica, berdasarkan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana.
Tuntutan yang disebutkan banyak pihak, berasal dari keragu-raguan pihak JPU. Pasalnya jikapun JPU meyakini Jessica sebagai pembunuh Mirna, bisa saja memberikan tuntutan hukuman maksimal, yakni hukuman mati.
Tuntutan JPU itu juga kemudian dicibir oleh pengacara kawakan Hotman Paris Hutapea. Dia masih meragukan pernyataan para saksi ahli toksikologi, mengenai kandungan sianida di tubuh Mirna.
Lamborghini Hotman vs Ferrari Darmawan Salihin
Keraguan ini mencuat karena memang sejak awal, belum pernah dilakukan autopsi secara menyeluruh terhadap jenazah Mirna. Hotman bahkan akan menghadiahi mobil Lamborghini miliknya seharga Rp12 miliar kepada lembaga sosial, jika dua saksi ahli racun yang dihadirkan JPU kembali menjelaskan secara objektif di hadapan majelis hakim.
"Tes racun baru dilakukan tanggal 11 April 2016 atau 3 bulan setelah Mirna meninggal, atau tiga bulan setelah sisa sianida sudah mencair di sisa kopi mirna, kalau benar ada sianida," kata Hotman.
"Sisa racun sudah cair di dalam kopi selama tiga bulan. Ini apaan? Hasil pemikiran atau ramalan atau rekaan? Atau jampi-jampi?,” cetusnya sembari mengingatkan Pasal 184 Ayat 5 KUHAP yang isinya, baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.
Pernyataan Hotman itu kemudian dibalas ayah Mirna, Darmawan Salihin. Dengan turut menyinggung soal tuduhan seorang wartawan terhadap suami Mirna, dia siap menghadiahkan mobil Ferrari miliknya.
"Kalau si Hotman Paris sayembara Lamborghini yang ketabrak itu, saya kasih Ferrari saya deh yang baru. Suruh tunjukin Amir (Papalia), buktiinkalau memang si Arief ngasih duit Rp 140 juta. Ngomong enak aja," seru Darmawan di PN Jakpus, 20 Oktober lalu.
Terkait tuntutan Jessica dari JPU berupa 20 tahun penjara, kubu Jessica kemudian menyampaikan pleidoi atau nota pembelaan. Tapi entah dengan alasan apa, kemudian Jessica menyampaikan bahwa dia ditahan di sel yang tidak layak.
Lantas dalam repliknya, JPU justru membeberkan foto-foto dengan menyebutkan bahwa Jessica selama ini ditahan di sel yang mewah, bahwa bohong jika Jessica mengaku ditempatkan di sel yang sempit dan banyak kecoa.
Ini jadi blunder tersendiri buat JPU. Karena baik Jessica dan Polda Metro Jaya sendiri menyatakan, foto-foto yang dibeberkan JPU pada repliknya, bukanlah sel tahanan Jessica. Melainkan ruangan konseling.
Duh, pembeberan foto-foto Jessica oleh JPU itu malah seolah memfitnah Polda Metro Jaya. Sementara persidangan terus berjalan, kubu Jessica “membalas” replik JPU dengan pembacaan duplik.
Kini, yang tersisa hanya babak penentuan. Babak di mana majelis hakim akan menentukan vonis “berdasarkan keyakinan” hakim dan ini akan jadi potret tersendiri bagi hukum di Indonesia.
“Keputusan hakim ini titik puncak peradilan Jessica. Masyarakat menyaksikan langsung, karena kasus Jessica menjadi potret peradilan Indonesia,” tutur pengamat hukum Romli Atmasasmita di Koran SINDOedisi Rabu 26 Oktober.
29 Okt 2016
Perjalanan Jessica Kumala Wongso dan Kasus Kopi Maut Sianida
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar