Fenomena Bully Massal di Internet, Kenapa Kita Mudah Menghakimi
topikindo.com - Beberapa waktu lalu, saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru, Muhadjir Effendy, melontarkan wacara full day school, segera saja idenya mendapat penolakan keras dari publik. "Saya hanya baru lontarkan ide, bagaimana apabila siswa pulang jam 5 sore agar mendapatkan pendidikan karakter lewat kegiatan yang menyenangkan sesuai program nawacita," ungkap Menteri Muhadjir, dalam konferensi pers. Ia mengaku kaget dengan reaksi masyarakat yang begitu besar, sehingga timbul penolakan. "Saya lempar ke masyarakat untuk melihat reaksi publik. Eh, ternyata saya di-bully habis-habisan," ujarnya.
Selain kasus yang dialami Menteri Muhadjir, tak sedikit tokoh lain yang pernah mengalami hal serupa. Tak hanya mendapat kritik ketika opini atau kebijakannya tak diterima publik, tapi juga tak jarang kritik yang datang beserta hujatan. Begitulah media sosial. Perilaku mereka yang aktif di dunia maya sekarang seperti detektif. Misalnya, di berita disebutkan nama seorang tokoh atau artis yang terlibat kasus suap. Langsung saja orang berbondong-bondong mengecek akun Twitter-nya. Tak perlu repot-repot mendatangi rumah si tersangka, tinggal
mention, ketik komentar, hujatan, cacian, lalu tinggal
posting saja.
Nah, ketika yang melakukan ini ada banyak, yang terjadi adalah
bully secara massal dan
viral. Menurut pengamat media sosial,
Nukman Luthfie, yang membedakan
cyberbully dari
bully yang lain adalah pelakunya bisa jadi tidak menyadarinya. Sebab, sekali berkomentar atau sekadar
nyinyir saja, sebetulnya ia sudah menjadi bagian dari
cyberbully. Apalagi kalau
post-nya disertai
mention langsung atau
hashtag tertentu. Ketika dicek dan isinya hujatan, tentu saja pemiliknya akan merasa diserang.
Ada sebuah survei menarik yang dilakukan terhadap 2.698 pengguna media sosial di Amerika Serikat. Sebanyak 78 persennya mengaku diperlakukan secara tidak sopan atau kasar di media sosial. Bahkan, 20 persen orang pernah menjauhi seseorang di kehidupan nyata setelah beradu pendapat di dunia maya. Sebanyak 19 persen dari mereka mengaku pernah
betulan memutuskan hubungan pertemanan setelah
unfriend,
unfollow, atau
unsubscribe seseorang di internet.
Joseph Grenny, ketua tim survei tersebut yang dikutip portal berita
Reuters, menilai bahwa zaman sudah berubah dan banyak hubungan antarmanusia terjadi di dunia
online. “Sayangnya, tata krama dan sopan santun belum bisa mengejar teknologi yang berkembang begitu pesat,” ujarnya. Jika berhadapan langsung, Anda akan berpikir dua kali untuk menghina atau mengejek seseorang. Sedangkan di internet, Anda cenderung tidak perlu berpikir panjang.
Menurut Nukman, internet menjadi tempat
bully yang subur karena bentuk komunikasinya yang tidak sempurna. Informasi bisa datang sebagian, sepotong-sepotong, bahkan terbatas hanya 140 karakter. Keterbatasan pola komunikasi di dunia maya inilah yang membuat risiko
cyberbully menjadi tinggi. Di sana ada anonimitas, karena yang menyerang dan diserang tidak bertemu langsung. “Serangan yang terjadi hanya sebatas verbal. Karena tidak visual dan personal,
cyberbully jadi lebih tidak pandang bulu dibanding
bully di dunia nyata,” jelas Nukman.
Selain itu, bentuk dan sarana komunikasi yang tersedia di dunia maya juga memudahkan orang untuk terlibat dalam perseteruan
cyber. Pertama, siapa saja punya akses untuk membuat akun. Kedua, jika
conversation atau percakapan terjadi di media sosial seperti Facebook atau Twitter, tidak ada moderator atau ‘polisi’ yang mengawasi seperti di forum-forum
online. Ketika tidak ada konsekuensi yang nyata, orang bisa berkata seenaknya.
Mudahnya penyebaran informasi ini juga menjadi penyebab
cyberbully terjadi secara viral. Status,
tweet, atau
post di mana pun kini bisa dibagi atau di-
share di
platform yang berbeda-beda. Sayangnya, menurut Nukman, informasi yang tersebar luas dan terlalu cepat ini sering kali belum tentu benar. Yang tadinya masih isu, menjadi berita karena sudah dibicarakan di media sosial. “Ada pula kecenderungan orang untuk ikut mengomentari sesuatu yang dikomentari orang lain. Padahal, ia belum tentu mengerti benar masalahnya,” tambahnya, menyayangkan.
Tanpa adanya tatap muka, media sosial jadi terasa tidak personal. Padahal, Nukman berpendapat sebaliknya. Akun media sosial bukan hanya identitas kita, tapi juga membuka akses langsung untuk orang lain terhadap kita. “Saat kita melontarkan pujian atau hujatan terhadap artis, presiden, atau orang biasa, ya, akan tertuju langsung kepada mereka secara pribadi,” kata Nukman, mengingatkan.